Senin, 29 Desember 2008

KALAU SAJA...

Kalau saja... sebenarnya aku paling benci dengan kata-kata ini. Frase perandaian yang membuat hidup seolah hanya patut disesali, dan selamanya aku membenci frase itu. Hingga pada suatu ketika aku terjebak juga dalam ritme yang kacau dalam satu bagian kehidupanku, frase itu nyaris terlontar "kalau saja". Dan tahukah kau, kawan... aku bersyukur bahwa aku tidak hidup di masa prasejarah dimana di saat itu orang-orang tidak mengenali tulisan untuk bisa merekam perjalanan waktu. Aku bersyukur karena salah satu pesaran pokok Fisika yang bernama 'waktu' itu bisa kutuangkan dalam tulisan, setidaknya itu mengurangi energi negatif yang bersarang di kepalaku karena terus memikirkan cuaca yang tidak lagi bisa diprediksi seperti sekarang. Setidaknya lagi, aku tidak perlu mengucapkan "kalau saja" dalam hidupku.

Menurutku, frase "kalau saja" itu adalah pembunuh berdarah dingin yang diam-diam mematahkan semangat hidup. Karenanya juga, selamanya aku tidak ingin berdekatan dengannya. Kebencianku pada frase itu sama besarnya dengan kebencianku pada orang-orang yang hanya bisa menilai seseorang dari sisi negatif. Entahlah bagimu, tapi begitulah menurutku. Setiap orang berhak menjalankan apa pun bentuk kehidupan yang sudah ditakdirkan Tuhan padanya, baik itu berupa kesalahan, kelalaian, keterlambatan yang tidak selamanya bisa diulang. Kalau sebagian orang mendulang kekecewaan atas sikap gegabah seseorang, bukankah itu hanyalah sebuah proses pendewasaan yang diberikan Tuhan dengan cara paling pantas menurutNya, sekali lagi kukatakan 'menurutNya'. Maka jika segala hal pada dasarnya terjadi atas peran serta Allah di dalamnya, kenapa harus dimaki. Biar sajalah semua berjalan sebagaimana adanya. Kekesalan kita hari ini dengan mudah akan berubah menjadi deras tawa di esok hari.

Aku, merasa beruntung karena aku bukanlah tipe orang pendendam yang mengubur kesalahan seseorang dalam lubuk maaf yang tak bisa terurai. Karenanya aku tidak pernah merasa bermasalah dengan orang-orang yang mungkin bersalah padaku. Aku justru kurang bisa mentolerir orang-orang yang berusaha membela diri dengan menjustifikasi kesalahan orang-orang yang bermasalah lalu berusaha mencari penyelesaian dengan sudut pandangnya sebagai pengamat yang lepas tangan, padahal belum tentu pengamat tadi lebih baik dari orang-orang yang bermasalah. Belum tentu juga orang-orang yang bermasalah tadi merasa bermasalah. Nah lo, bingung kan. Ya intinya seperti sebuah kalimat bijak "Menyalakan sebatang lilin jauh lebih berarti dibanding terus mengutuki kegelapan". Kenapa juga kita disibukkan dengan menyalah-nyalahkan sesuatu yang memang salah dan mungkin saja kita juga terlibat paling parah dalam kesalahan itu. Apa sulitnya menerima kesalahan jika kita memang salah, lalu berjanji tidak akan mengulanginya, maka selesailah masalah. Bukankah itu lebih gentleman?

Kita bukan malaikat yang bebas dari kesalahan. Kita hanyalah segerombol manusia yang belajar menjadi baik. Pada kesempatan tertentu ada saja celah yang melahirkan kesalahan, tidak selalu bisa kita sadari. Ada sisi manusiawi kita yang butuh dipahami dan bukan untuk dimaki atau dipaksa untuk mengerti. Itu sebabnya kita tidak dibiarkan hidup sendirian di dunia ini dan itu pula esensinya kenapa kita seharusnya berjamaah, karena konteks perbedaan itu akan lebih tertangani di sana. Orang yang memiliki kualitas pemahaman lebih baik akan lebih bisa memahami dibanding orang yang sedang butuh dipahami. Bentuk pemahaman di sana kuyakini hanyalah selarik proses pendewasaan menuju keadaan lebih baik. Selama kita berjalan pada garis keimanan yang benar, semua pasti akan berjalan baik.

Tidak ada komentar: